Senin, Desember 31, 2007

Kerja Sampingan agar Dapur tetap Ngepul


(Kisah Buruh Rokok di Kudus)

Azan shubuh baru saja usai. Namun Atun (34), warga Desa Jepang Mejobo Kudus, itu sudah beranjak bangun dari tidurnya. Ia segera ke kamar mandi, mengambil air wudlu lalu melaksanakan shalat Subuh.
Habis shubuh, jalanan di kota Kudus selalu ramai oleh para perempuan yang pergi bekerja di pabrik. Sepeda, motor dan angkutan, bergegas dan berpacu dengan gelap yang akan segera hilang.
Namun, Atun tidak segera mandi dan bersiap diri pergi ke pabrik. Karena ia harus menyiapkan sarapan bagi suami dan anaknya yang masih semata wayang terlebih dahulu.
Diambilnya beras. Ia pun mulai memasak. Lauk ala kadarnya disiapkan. Ia memasak dengan kompor minyak yang sangat sederhana. Sembari menunggu nasi matang, ia ke sumur mencuci pakaian.
Usai memasak dan mencuci pakaian, barulah ia mandi dan bersiap untuk pergi ke salah pabrik rokok. Dengan sepeda onthel miliknya, ia berpacu dengan waktu. Karena jam 06.00 Wib, ia harus sudah masuk kerja. Demikian, setiap hari ia harus melaksanakan rutinitas yang sangat melelahkan itu.
Bagaimana tidak melelahkan. Disamping disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, ia bekerja sebagai buruh Giling di salah satu rokok yang cukup ternama di Kudus. Sepulang dari pabrik, ia pun tidak meluangkan waktunya buat istirahat sejenak.
Di rumah, sepulang kerja, ia membuat besek dan ekrak (kerajinan tangan dari bambu) untuk mencari tambahan rizki buat membantu suaminya, yang hanya berprofesi sebagai pembuat batu bata.
“Kerjo ning pabrik saiki ora iso dijagakno. Balike esuk. Paling jam 11.00 wis tekan omah. Yo, ketimbang ning omah nganggur. Tur yen ono opo – opo, mbuh loro utowo nglahirake, ono duite.” (Kerja di pabrik sekarang tidak bisa buat jaminan. Pulangnya pagi. Paling jam 11.00 sudah pulang. Ya, daripada nganggur. Lagian kalau di pabrik, kalau ada apa – apa seperti melahirkan, dapat tunjangan).
Begitulah penuturan Atun. Yang telah melakoni sebagai buruh di pabrik rokok sejak ia lulus dari Sekolah Dasar. Berat beban yang dipikulnya, seakan sudah tiada terasa. Karena di rumah, anaknya yang sebentar lagi ujian, membutuhkan uang. Sementara suami, kerja dengan penghasilan pas – pasan.
Beratnya menjadi buruh di pabrik rokok bagi perempuan di Kudus, tidak hanya dialami Atun. Tumini (45), warga Desa Gulang juga merasakan hal yang sama. “Pendapatan sekarang sedikit. Garapan cuma 2. dengan penghasilan Rp. 19.500 dibagi dengan bathil (yang bertugas merapikan rokok). Rp.8.500 untuk bathilnya. Selebihnya untuk Saya,” terangnya.
Meski berat, namun Tumini barangkali bisa lebih tenang karena kedua anaknya sudah lulus SMA. Berbeda dengan Atun yang masih memikirkan biaya pendidikan anaknya dan persiapan untuk anak keduanya yang akan lahir nantinya.
Hal yang tidak jauh berbeda dialami Rusmi (50). Warga Desa Getaspejaten yang sudah mempunyai seorang cucu ini sudah puluhan tahun jadi buruh pabrik rokok. Meski gaji tidak seberapa, namun ia tetap bertahan. Karena disamping umur, pendidikannya tidaklah tinggi.
Ya, bekerja sebagai buruh pabrik rokok bagi perempuan di kota Kudus, bukanlah pilihan. Tapi karena keadaan. Kebanyakan dari mereka pendidikannya rendah.
Namun begitu, meski gaji sedikit dan pekerjaan berat lain di rumah menanti sepulang kerja, mereka tetap bekerja dengan senyum dan ikhlas. Karena dapur mereka tetap harus mengepul. Anak – anak mereka memerlukan uang untuk biaya pendidikannya. Dan, tentu saja, untuk meringankan beban sang suami.(Rosidi)

Suara Merdeka
7 Juni 2007

Semakin Langka, Kerajinan Bambu di Jepang

Kerajinan membuat Besek, Ekrak, Tumbu, Kepang, tumbu gula merah dan anyaman bambu lainnya, kini semakin terdesak oleh barang-barang yang berfungsi sejenis yang terbuat dari plastic yang diolah secara modern. Di Kudus, kerajinan bambu ini selama beberapa kurun menjadi home industry masyarakat di Desa Jepang, Kecamatan Mejobo.
Kondisi ini dikarenakan semakin langkanya bambu , yang membuat ongkos produksi membuat kerajinan tradisional ini semakin mahal. “Preng (bambu) cilik wae regane iso wolungewu,” kata Ujud, salah satu pengrajin Kepang dan tumbu gula merah dengan bahasa Jawa. .
Kondisi demikian, membuat para pengrajin hanya membuatnya jika ada pesanan saja. “Yen ono pesenan yo nggawe. Yen ora ono yo ora,” kata Bapak lima anak ini menambahkan.
Hal sama dirasakan oleh salah satu pengrajin Kepang lain. Mbah Joko, pengrajin tersebut, mengaku membuat Kepang kalau ada pesanan saja. “Nek ora ono pesenan, yo reng sawah,” katanya.
Pengrajin Besek nasibnya memang lebih baik. Karena pengrajin biasanya perempuan yang lebih banyak di rumah daripada pengrajin Kepang yang kebanyakan laki-laki. Tetapi secara kuantitas, tetap menurun.
Ibu Supik, misalnya. Ibu tujuh anak ini yang sehari-hari berprofesi membuat Besek setelah pekerjaan rumah selesai. Namun biasanya, ia dibantu oleh kedua putrinya setelah pulang dari bekerja di pabrik.
Meski saat ini masih ada orang-orang yang bias membuat kerajinan bambu ini, namun dikhawatirkan 5 sampai 6 tahun ke depan, kerajinan ini akan musnah jika tidak diperhatikan. Selain karena sudah ada barang-barang produk modern, juga tidakadanya generasi yang nguri-nguri (menghidupkan) dan meneruskan kerajinan tradisional ini.
Haruskah kerajinan ini diklaim sebagai milik Negara tetangga dulu, baru kita rebut mempertahankannya?

Menilik Dapur Umum Korban Banjir


Banjir di Kudus, ternyata mampu menumbuhkan rasa empoati pada sesama. Berbagai kalangan dari berbagai organisasi, saling bahu membahu, menolong para korban banjir, untuk meringankan bebannya. Diantara mereka, adalah para tukang masa di dapur umum yang berada di samping GOR Wergu Wetan Kudus dan di halaman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kudus.
Sejak dibuka pada Kamis (27/12/2007) lalu, dapur umum ini menyetok makanan bagi para korban bencana alam tersebut. Sibuk sekali tentunya. Karena mereka menyiapkan makanan untuk sekitar 6000 jiwa korban banjir tersebut.
Relawan yang bekerja di dapur umum itu, berasal dari berbagai organisasi, masyarakat, dan perguruan tinggi. Marjin, misalnya, mengkoordir warga dari RT 3 RW IV Wergu. Sementara Ny. Suparyoto, isteri Camat Kota, mengkoordinir Ibu-ibu PKK dari berbagai kelurahan yang ada di wilyah kecamatan Kota.
Selain Pak Marjin dan Ibu Suparyoto, ada juga Ibu Suaji. Dia merupakan koordinator dari isteri-isteri angota Polri (Bhayangkari) yang ada di Kudus. "Kebetulan Saya dipercaya untuk mengkoordinir teman-teman bhayangkari," ujar isteri anggota Polsek Jati ini. Sementara dari perguruan tinggi yang terlihat, adalah para mahasiswa dari STAIN Kudus dan UMK.
Pekerjaan di dapur umum ini berlangsung selama 24 jam. Karenanya, mereka membuat shift-shift untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut.

MINUMAN RINGAN BANYAK KHASIAT


Wedang Alang-alang

Minuman Ringan Banyak Khasiat


Senja baru saja menelisik di balik mega. Gelap pun kini menyelimuti Kota Kretek yang penuh dengan warna dan warni. Apalagi, pada malam minggu, paling enak bersantai bersama keluarga atau do’i.

Ada yang makan malam di restaurant atau bahkan di rumah makan padang. Tapi di warung tenda Hermanto (49), jauh lebih mengasyikkan, selain bisa duduk santai sambil menikmati hidangan makanan kecil, warung yang terletak di Jl. HM. Basuno 18 A Kudus ini, selain menjadi tempat santai, bisa juga sebagai klinik pengobatan, ya, karena warung ini satu-satunya di Kudus yang mempunyai resep Wedang Alang-alang.

Herman (sapaan akrab Hermanto) mengaku memperoleh resep ini dari ibunya “Sebenarnya wedang alang-alang ini adalah obat panas dalam” tuturnya. Bahan dasarnya terbuat dari Serey, Pace yang sudah matang, akar rumput alang-alang dan gula batu. Selain itu, ada resep lain yang tidak mau diungkapkan oleh Herman “karena rahasia perusahaan mas,” katanya sembari tertawa kecil.

Warung yang berdir di emper toko dan berdinding kain ini, buka mulai pukul 18.00 s/d 01.00 WIB. “Tapi terkadang jam 21.00 Wib sudah tutup mas, karena banyak pembeli,” ceritanya kepda Info Kudus 13 Agustus 2007 malam.

Selain obat panas dalam, Wedang Alang-alang juga berkhasiat mengencerkan kencing, buang air besar dan pegel linu. Dengan merogoh kocek Rp. 1.500 anda bisa menikmati wedang alang-alang sambil berobat.

Bukan hanya Wedang Alang-alang lho, tapi, Jahe Bening buatan Herman juga dapat menyembuhkan masuk angin. Yang paling berkesan lagi, sehabis membayar, pengunjung selalu di do’akan “enjang-enjang mriki maleh, taseh sadean” (besok ke sini lagi, masih jualan). Bagi Herman, ini termasuk do’a, karena dengan begitu, kalau yang di do’akan mendapat rizqi banyak, bisa kembali membeli dagangannya lagi, atau paling tidak, orang tersebut bisa membagi-bagi rizqinya pada orang lain.[] Nasrur

SAYA BUKAN PAKAR, TAPI "PEKIR"




Nama : H. M. Noor Aufa Shiddiq
TTl : Kudus 22 April 1957
Alamat : Langgar Dalem 21 Kudus
Pekerjaan : Guru Madrasah TBS Kudus
Istri : Noor Umamah
Ayah : Sjoehoed Siddiq
Ibu : Badriyati
Anak : Yazid Husain
Nila Sofiana
Pendidikan : SLTA

Organisasi :
1. Asosiasi Kaligrafi Internasional
2. Pengurus Cabang Nu Kabupaten Kudus
3. Dewan Hakim Tahsimul Khath Tk Nasional
4. Pembina Kaligrafi Prop. Jawa Tengah

Prestasi :
1. Juara Nasinal Th 1988 di Bandar Lampung
2. Juara Festival Istiqlal I tahun 1991 di Jakarta
3. Juara Festival Istiqlal II tahun 1995 di Jakarta
4. Juara Tingkat Asia tahun 1992, 1994, 1996 di Brunei Darussalam

Karya :
1. Ornamen-ornamen hiasan kaligrafi di Masjid Agung Kudus
2. Ornamen-ornamen hiasan kaligrafi di Masjid Agung Jawa Tengah
3. Ornamen-ornamen hiasan kaligrafi di Masjid Agung Baiturrahman
4. Buku Pedoman Tahsimul Khath
5. Mushaf Raksasa

Motto Hidup : “Dengan seni hidup ini semakin indah”
Hobby : Nulis Kitab.


SAYA BUKAN PAKAR, TAPI "PEKIR"

“Waduh saya belum mandi mas”, kelakar bapak dua anak sehabis mengajari beberapa siswa di kediamanya untuk belajar kaligrafi arab, ketika menyambut kedatangan kru Arwaniyyah. Sebagai seorang yang didedikasikan masyarakat sebagai pakar kaligrafi, tentunya bukanlah hal yang mudah untuk mencapainya. Terlebih lagi untuk menjaga dan mengembangkan penghargaan itu. Terbukti beliau yang kebetulan mendapat anugrah Allah lewat talenta menulis halus ini, mendirikan Lembaga Kaligrafi Kudus yang sampai saat ini masih bertahan dan semakin berkembang, dengan jumlah siswa lebih dari 120 orang, baik di tingkat anak-anak maupun remaja. Namun menanggapi masalah penganugrahan tersebut, Juara Kaligrafi tingkat Nasinal ini tidak mau membesar-besarkanya. Sehingga laki-laki yang lebih menjunjung tinggi nilai kesederhanaan ini lebih nyaman di sebut “Pekir”(mlarat) dari pada pakar, tegasnya.
Sebelum menekuni bidang kaligrafi arab, laki-laki yang diberi nama M. Noor Aufa Siddiq pernah menekuni jalur tilawah sampai pada tahun 1977. Setelah itu, beliau lebih menitik beratkan konsentrasinya pada dunia kaligrafi. Putra dari pasangan Sjoehoed Siddiq dan Badriyati dan pengasuh Lembaga Kaligrafi Kudus, mengaku belajar kaligrafi secara autodidak, dengan mencermati kaidah-kaidah yang ada serta mencoba mengevaluasi sendiri karya-karya orang lain sebagai referensi sebelum berkarya. Keseriusan dan ketekunanya dalam berlatih, membuahkan hasil yang gemilang. Pada masa-masa akhir 1980-an namanya mulai dikenal pada kancah nasional. Hingga pada akhirnya, keluwesannya dalam menggoreskan tulisan-tulisan arab, melambungkan namanya di event-event international.
Kesederhanaan dan ketelatenan, membuat pengarang Buku Pedoman Tahsimul Khot, tidak lupa dengan masyarakat awam. Meski nama dan prestasi yang melambung, ayah Yazid Husain ini, tetap mengabdikan diri untuk mendampingi para pemula yang ingin belajar seni kaligrafi di kota kelahirannya. Sebuah wadah untuk ngangsu kaweruh kaligrafi beliau dirikan di lingkungan rumahnya, sekitar tahun 1983 atas dorongan beberapa rekan seprofesinya.
Awalnya hanya prifat, namun mengingat semakin banyaknya perserta yang belajar, untuk efektifitas waktu, beliau membuka lembaga pendidikan Kaligrafi. Dari lembaga ini sudah banyak menelurkan ahli-ahli dalam bidang seni kaligrafi di tingkat daerah maupun nasional.
Disamping menggeluti dunia seni kaligrafi, salah satu penulis Mushaf Raksasa ini juga mempunyai pekerjaan yang tak jauh dari talentanya, yaitu mendapat kepercayaan untuk menulis kitab-kitab. Adapun pengalaman batin yang sangat menarik ketika menekuni profesi sebagai penulis kitab adalah, beliau mendapat kesempatan belajar pada kitab tersebut, sebelum orang lain mempelajarinya. Profesi ini sudah beliau geluti sejak lama, mulai sekitar 1970-an dengan menulis di percetakan-percetakan yang ada di sekitarnya hingga sampai ke daerah Surabaya.
Semakin tinggi sebuah pohon, maka semakin besar angin menrpa. Ujian pun datang pada saat Aufa (panggilan akrab Noor Aufa Shiddiq) mengendarai sepeda motor. Pada insiden tersebut, beliau berusaha menyelamatkan keutuhan tangan kanannya dan mengorbankan anggota tubuh lainnya. Hal ini dilakukan karena rasa cinta dan sayangnya atas anugrah Allah yang turun pada tangan kanannya. Bukan hanya itu, cobaan yang bersifat moral juga sering beliau alami, pada saat mengikuti lomba tak jarang terjadi kedzaliman-kedzaliman yang menimpanya. Namun hal ini tidak membuat beliau patah arang, karena beliau memegang prinsip menang bukan selamanya pemenang.
Secara arif juga, beliau memandang masalah materi (kekayaan yang berupa harta benda), tidak menjamin hidup jadi tentram. Kekayaan sejati adalah ilmu. Baginya, ilmu mampu membekali orang lain untuk menjadi kaya. “Dengan ilmu orang akan menjadi maju, dengan seni hidup menjadi indah. Dan keindahan hidup adalah cerminan dari ketentraman batin yang menjadi harapan setiap manusia,” tambahnya mengakhiri pembicaraan.[] M. Nur Salim

HAB DEPAG KUDUS


Dalam rangka peringatan Hari Amal Bakti (HAB) yang ke-62 Departemen Agama Kabupaten Kudus dimeriahkan dengan berbagai acara. Diantaranya lomba gerak dan lagu tingkat RA/TK se kabupaten Kudus yang diadakan pada tanggal 30 Des 2007 di Taman Krida Budaya Kudus. Acara diikuti oleh 42 RA/TK dari 78 RA/TK yang ada di Kudus.

Selain lomba gerak dan lagu ini, kegiatan lain yang diadakan adalah lomba MTQ, Lomba Mewarnai dan Bazar yang akan diadakan hingga 2 Januari 2008 mendatang.

Menurut koordinator lomba Musyafaati dan Siti Maryah, kegiatan ini dilaksanakan sebagai sosialisasi (pengenalan) RA-RA dan TK yang ada di Kudus. “Harapan kami, RA dan TK yang ada mampu bisa sejajar dengan RA dan TK yang lebih baik. Selain itu juga untuk menggali potensi serta bakat anak-anak tersebut,” kata mereka.

KAMPOENG SAWAH


Hoby mungkin tidak bisa dipengaruhi oleh sesuatu apapun, tapi hoby juga bisa datang dengan lajunya trend yang berkembang. Misalnya burung, dulu orang memburu segala jenis burung, karena memang burung pada saat itu sedang menjadi tren, selang beberapa tahun kemudian, ikan menjadi primadona, yang menghabisi tingkat anak-anak sampai orang dewasa. Nah sekarang, bunga sedang naik daun, hampir di setiap rumah, tanaman bunga seolah menjadi bagian dari kehidupan rumah tangga. Mulai dari jenis adenium, anturium atau bahkan ephorbia.
Harganya cukup bervariasi, mulai dari yang puluhan ribu, sampai dengan ratusan bahkan jutaan rupiah. Misalnya saat ini, Gelombang Cinta menjadi incaran publik, bunganya memang sederhana, tapi harganya melebihi harga sepeda motor choy.
Sebelum bunga menjadi tren, mereka hidup secara liar, dan jarang sekali orang memperhatikannya, sekarang, Kota Kudus, yang selama ini dikenal sebagai Kota Kretek, tidaklah mengapa, jika harus menyandang gelar baru sebagai Kota Bunga. Karena hampir di setiap sudut kota ini, pondok bunga berdiri dengan memberikan tawaran yang menawan. Salah satunya Kampoeng Sawah.
Sebuah perkampungan di atas tanah kurang lebih satu hektar ini, dihuni empat komplek, Kresindo Garden, Lita Flora, Sekar Jene dan Jasmin Garden. Di kampoeng sawah ini, rata-rata mereka memulai dari pembibitan dan mengembangkannya menjadi induk. Setiap pondoknya mencoba untuk fokus dalam pembibitan, misalnya Kresindo Garden, ia mencoba untuk membudidayakan bunga jenis Adenium, Sekarjene pada Anturium-nya, Lita Flora fokus ke Ephorbia dan Jasmin Garden lebih ke pembibitan buah.
Awalnya memang sekedar hoby, tapi apa salahnya mengembangkan hoby menjadi bisnis, seperti yang dilakukan Totok, pemilik Sekar Jene, dari hoby ini, ia tidak banyak orientasi, karena waktu untuk berburu rasanya sudah habis, tapi masih ada kesempatan untuk menjadi petani bunga. Itu juga yang dilakukan oleh penghuni Kampoeng Sawah lainnya.
Ke depannya, sebagaimana yang diungkapkan Firdaus (Kresindo Garden), rencananya, di Kampoeng sawah ini ingin dijadikan sentral pameran. Dan juga menjadi pusat pembelian terlengkap, mulai dari bunga itu sendiri, pupuk, sampai pada potnya.[] Nasrur

Minggu, Desember 30, 2007

KUMPULAN CERPEN DARI KUDUS

Oleh Anita Retno Lestari

Baru-baru ini Gapuraja Media, sebuah penerbit yang tergolong baru di Kudus, telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul The Regala 204 B. Peristiwa ini sangat menarik karena sejak dulu Kudus dikenal sebagai kota kretek yang cenderung materialistis sehingga nyaris “alergi” terhadap kesusastraan.

Memang, di Kudus ada Keluarga Penulis Kudus (KPK) yang berdiri pada awal dekade 90-an, tetapi sampai sekarang hanya menghasilkan buku-buku tipis kumpulan puisi untuk kalangan sendiri. Padahal, KPK memiliki anggota yang produktif menulis puisi seperti Mukti Sutarman Espe. Nama ini sampai sekarang belum juga berani menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal, padahal sudah ratusan puisi dipublikasikan di berbagai media cetak.

Di Kudus juga ada penulis produktif Maria Magdalena Bhoernomo yang telah menulis sekitar 1.000 judul cerpen. Penulis ini justru gembira dengan terbitnya kumpulan cerpen tersebut, yang tidak memuat satu pun karyanya. Menurut dia, hal ini layak disyukuri karena bisa menjadi bukti bahwa ada penerbit di Kudus yang lebih suka menerbitkan karya penulis-penulis daerah lain sehingga dengan demikian akan membangkitkan interaksi budaya yang lebih luas.

Buku kumpulan cerpen tersebut memuat 11 judul cerpen karya Indarpati, Nera Andiyanti, Anita Kristianasari, St Fatimah, Abdullah Khusairi, Joko Nugroho, Fitri Mayani, Ragdi F Daye, Sunly Thomas Alexander, Nursalam AR, dan Udo Karzi. Nama-nama ini merupakan penulis muda. Kata pengantarnya ditulis oleh Profesor Arief Budiman. Sementara, cerpenis Semarang S Prasetyo Utomo sebagai penyeleksi.

Buku kumpulan cerpen tersebut konon dipersembahkan untuk kaum marjinal, maka cerpen-cerpen yang dimuat memiliki tema-tema mengenai kehidupan seputar kaum marjinal. Dan menurut pihak penerbit, sebagian hasil penerbitannya akan disumbangkan untuk kaum yang membutuhkannya. Hal ini menujukkan optimisme penerbit yang luar biasa tetapi mungkin akan terkesan sumir bagi telinga kalangan penerbit di daerah lain yang sering kecewa karena usahanya menerbitkan buku-buku sastra (khususnya kumpulan cerpen) selalu merugi.

Terbitnya buku kumpulan cerpen di Kudus tersebut layak dicatat karena terkesan berani mengambil risiko rugi dengan bermodalkan optimisme meraup untung yang akan disumbangkan kepada kaum yang membutuhkan. Meski terkesan sumir, hal ini harus dihargai. Sebab, di banyak daerah, sudah banyak penerbit yang merugi menerbitkan buku kumpulan cerpen kecuali penulisnya selebriti dengan dukungan promosi yang gencar dan melibatkan berbagai macam sponsor.

Jika dikaitkan dengan perkembangan kesusastraan Indonesia, usaha penerbitan buku kumpulan cerpen patut mendapat respons positif bagi kalangan guru sastra dan mahasiswa fakultas sastra, karena bisa memperkaya perpustakaan pribadinya. Mungkin karena itulah, dalam catatan untuk buku kumpulan cerpen tersebut, pihak penerbit menyebut sejumlah tokoh dan lembaga pendidikan yang ada di Jawa Tengah.

Maksudnya, mungkin hendak menyapa banyak pihak agar bersedia mendukung penerbitan buku kumpulan cerpen tersebut. Pada saat ini, memang banyak orang membeli buku dengan maksud membantu pihak penerbitnya, atau tidak untuk dibaca sendiri. Oleh karena itu, tidak perlu heran jika ada tokoh politik misalnya yang tiba-tiba membeli sekian eksemplar buku untuk dibagi-bagikan kepada kolega dan anak buahnya.

Adanya pihak yang bersedia belanja banyak buku, tentu akan mendukung perkembangan penerbitan buku (khususnya buku sastra), apalagi jika hal ini bisa menjadi tradisi atau fenomena baru di tengah masyarakat kita. Dengan demikian, sikap optimisme penerbit buku kumpulan cerpen tersebut bisa jadi tidak perlu dianggap sumir karena tujuannya memang hendak mentradisikan belanja buku besar- besaran untuk dibagi-bagikan kepada kolega atau komunitasnya. Misalnya, tujuan ingin menyumbangkan sebagian hasil penerbitan buku kumpulan cerpen tersebut bisa benar-benar terwujud jika misalnya Bupati Kudus dan seluruh anggota DPRD Kudus serta kalangan pengusaha rokok di Kudus bersedia membeli sekian ribu eksemplar untuk dibagi- bagikan kepada kolega dan warga Kudus yang miskin agar mereka juga bisa mengenal karya sastra yang temanya seputar kehidupan mereka yang notabene marjinal.

Dan akan lebih hebat lagi jika misalnya Gubernur Jateng bersama jajaran eksekutif dan legislatif serta rektor-rektor perguruan tinggi di Jawa Tengah juga bersedia membeli buku kumpulan cerpen tersebut untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak jalanan dan kaum gelandangan yang begitu banyak di sudut-sudut Kota Semarang.

Memang, yang terpapar di atas bisa jadi masih merupakan impian, tetapi bukan tidak mungkin benar-benar menjadi kenyataan jika pihak penerbit buku kumpulan cerpen tersebut sangat bersemangat ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan yang sebagian akan disumbangkan kepada kaum yang membutuhkan.

Dalam ranah sastra, segala impian selalu sah-sah saja untuk dikemas menjadi sesuatu yang menimbulkan optimisme. Dan jika menilik data empiris, setiap dekade selalu bermunculan banyak orang yang ingin mewujudkan impiannya dengan karya sastra. Misalnya, selalu saja ada penulis dan penerbit yang bersemangat menerbitkan karya- karya sastra, meskipun pada akhirnya harus gigit jari. Hal ini sudah menjadi fenomena klasik.

Oleh karenanya, jika misalnya penerbit kumpulan cerpen tersebut merugi, mungkin tidak akan membuatnya kapok. Namanya saja usaha, segalanya harus dicoba. Untung dan buntung itu risiko logis. Maka, ada baiknya setiap penerbit memang sudah memperhitungkan semua risiko yang bakal terjadi.

Dan untuk mencegah buntung, penerbit buku-buku sastra memang seharusnya didukung modal finansial dan modal sosial. Yang dimaksud modal finansial adalah biaya penerbitan yang berasal dari banyak kalangan. Sementara, yang dimaksud modal sosial adalah dukungan masyarakat luas yang bersedia membeli dan membaca buku.

Modal finansial dan modal sosial harus sama-sama mendukung penerbitan buku-buku sastra semacam buku kumpulan cerpen tersebut, agar sastra kita tidak selamanya terasing di negeri sendiri.


Anita Retno Lestari

Penggiat Komunitas Sastradipati dan Kelompok Studi Humaniora Tinggal di Pati, Jawa Tengah


Disadur dari Kompas, March 28, 2007

KUDUS SELAYANG PANDANG


Sejarah tentang hari jadi Kota Kudus di tetapkan pada tanggal 23 September 1549 M dan diatur dalam Peraturan Daerah (PERDA) No. 11 tahun 1990 tentang hari jadi Kudus yang di terbitkan tanggal 6 Juli 1990 yaitu pada era Bupati Kolonel Soedarsono.

Sejarah Kota Kudus tidak terlepas dari Sunan Kudus hal ini di tunjukan oleh Skrip yang terdapat pada Mihrab di Masjid Al-Aqsa Kudus ( Majid Menara), di ketahui bahwa bangunan masjid tersebut didirikan pada tahun 956 H atau 1549 M.


Migrab

Mengenai asal usul nama Kudus menurut dongeng / legenda yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di Tanah Arab, kemudian beliau pun mengajar pula di sana. Pada suatu masa, di Tanah Arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit tersebut menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Olek karena itu, seorang amir di sana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau, akan tetapi beliau menolak, hanya sebagai kenang-kenangan beliau meminta sebuah batu. Batu tersebut menurut sang amir berasal dari kota Baitul Makdis atau Jeruzalem (Al Quds), maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta bertempal tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.


Sejarah Sunan Kudus

Dja’far Sodiq, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus, adalah putra dari Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di Jipang Panolan. Semasa hidupnya Sunan Kudus mengajarkan agam islam di sekitar daerah Kudus khususnya di Jawa Tengah pesisir utara pada umumnya. Beliau terhitung salah seorang ulama, guru besar agama yang telah mengajar serta menyiarkan agama islam di daerah Kudus dan sekitarnya.

Terkenal dengan keahliannya dalam ilmu agama. Terutama dalam ilmu agama Tauhid, Usul, Hadits, Sastra Mantiq dan lebih-lebih didalam Ilmu Fiqih. Oleh sebab itu, digelari dengan sebutan sebagai Waliyyul ‘Ilmi. Beliau yang termasuk salah seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita pendek yang berisi filsafat serta berjiwa agama. Diantara buah ciptaannya yang terkenal, ialah Gending Maskumambang dan Mijil.

Disamping bertindak sebagai guru islam, juga sebagai salah seorang yang kuat syariatnya. Sunan Kudus pun menjadi Senopati dari Kerajaan Islam di Demak. Bekas peninggalan beliau antara lain adalah Masjid Raya di Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh Karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah.

Mengenai perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama islam tidak berbeda dengan para wali lainnya, yaitu senantiasa dipakai jaln kebijaksanaan, dengan siasat dan taktik yang demikian itu, rakyat dapat diajak memeluk agama islam.


Sejarah Sunan Muria

Raden Umar Syaid, atau Raden Said dikenal dengan sebutan Sunan Muria, adalah termasuk salah seorang dari kesembilan wali yang terkenal di Jawa. Nama kecilnya ialah Raden Prawoto. Beliau adalah putra dengan Sunan Kalijaga dengan Dewi Soejinah putri Sunan Ngudung. Jadi, kakak dari Sunan Kudus. Sunan Muria memperoleh seorang putra yang diberi nama Pangeran Santri, dan kemudian mendapat julukan Sunan Ngadilungu. Suan Muia yang terhitung salah seorang penyokong dari Kerajaan Bintoro. Beliau yang ikut mendirikan Masjid Demak. Beliau lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa, bergaul serta hidup di tengah-tengah rakyat jelata. Sunan Muria lebih suka mendidik rakyat jelata tentang agama islam di sepanjang lereng Gunung Muria yang terletak 18 km jauhnya sebelah utara Kota Kudus sekarang. Cara beliau menjalankan dakwah ke-islam-an, adalah dengan jalan mengadakan pelatihan terhadap kaum dagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah kabarnya yang mempertahankan tetap berlangsungnya gamelan sebagai satu-satunya sebagai seni jawa yang sangat digemari rakyat serta dipergunakannya untuk memasukkan rasa ke-islaman ke dalam jiwa rakyat untuk mengingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Disamping itu, beliau adalah pencipta dari gending “Sinom dan Kinanti”. Kini beliau dikenal dengan sebutan Sunan Muria oleh karena beliau di Makamkan di atas Gunung Muria, termasuk dalam wilayah Kudus.

Diambil dari : www.kudus.go.id

Menara Kudus Suatu Malam

Malam itu, hujan baru saja turun. Jalanan masih becek oleh air hujan. Namun lalang kendaran menyesaki jalan, seakan tak ada hentinya. Lampu penerangan di depan kompleks masjid Menara, kelihatan anggun. Para peziarah bergegas memasuki kompleks Masjid dan Makam Kanjeng Sunan Kudus. Salah satu Walisongo yang menjadi pendiri kota kretek ini.
Setiap hari, masjid dan makan Sunan Kudus selalu saja dipenuhi dengan para peziarah. Laki-laki. Perempuan. Tua. Muda. Bahkan anak kecil. Mereka berbondong-bondong datang. Tak hanya dari dalam kota Kudus. Banyak peziarah yang juga dari dari luar Kabupaten, luar Provinsi, bahkan luar negeri.
Ya, kepopuleran Sunan Kudus memang tidak hanya di dalam kota atau di dalam negeri saja. Tetapi jauh melintasi batas benua. Apalagi dengan keberadaan Menara Kudus, yang menyerupai Candi, tempat persembahyangan para penganut agama Hindu.
Dan di masjid itu, setiap malam, juga meriah oleh banyaknya peziarah yang beristirahat maupun santri-santri pondok pesantren yang belajar kitab kuning, maupun para santri yang menghafal al-Qur'an.

Museum Kretek Kudus “Galeri” yang Terlupakan


LELAKI tua berjas, blangkon, dan kain bermotif bunga-bunga itu tampak anggun. Kacamata yang dia kenakan kian menegaskan kewibawaan.

Siapa gerangan lelaki tua itu? Figur itu adalah Ki Nitisemito. Dialah pengusaha rokok kretek Bal Tiga yang legendaris pada masa Indonesia masih bawah daulat kekuasaan kolonial Belanda. Dan lukisan sang legenda itu adalah satu di antara 11 lukisan tokoh pengusaha rokok kretek di kota Kudus.
Lukisan-lukisan itu terpampang di sebuah bidang dinding utama gedung Museum Kretek yang diresmikan Menteri Dalam Negeri (pada waktu itu) Soepardjo Roestam pada 3 Oktober 1986. Tokoh lain dalam lukisan-lukisan tersebut adalah M Atmowidjojo (pengusaha rokok Goenoeng Kedoe), HM Ma’ruf (Djambu Bol), serta HM Muslich dan H Ali Asikin.
Ya, Museum Kretek sebenarnya bukan sekadar file penyimpan sejarah perkretekan di Kudus. Lebih dari itu, ia bisa menjadi ajang penelitian ilmiah dan pengembangan keilmuan.
Yang paling mengesankan, di museum itu banyak barang bernilai seni tinggi. Foto, lukisan, patung, dan miniatur yang menggambarkan proses pembuatan rokok kretek adalah aset berharga yang sangat mengesankan.
Museum itu menjadi semacam “galeri” yang terlupakan. Lihatlah, berbagai barang itu di dalamnya kurang terpelihara. Debu tebal dan kotoran lain menghiasi barang-barang itu.
“Ya, perhatian pemerintah terhadap museum memang sangat kurang. Karena itulah barang-barang ini kurang terawat,” ujar Baginda Abu Fahru Malay, petugas museum.
Lelaki kelahiran Kudus, 17 Maret 1954, itu menuturkan museum tersebut seharusnya menjadi kebanggaan dan mendapat perhatian. Karena, dulu, agar bisa disebut kota kretek, Kudus harus berebut dengan kota-kota di Jawa Timur untuk dipilih sebagai tempat pembangunan Museum Kretek. Namun, kini, museum yang merupakan miniatur jagat perkretekan itu kurang terawat.
Suami Sri Wahyuni (40) itu berharap pemerintah memperhatikan museum bernilai seni tinggi itu. “Di sini kan tak cuma ada museum. Di depan itu juga ada rumah adat Kudus yang membutuhkan perhatian,” ujarnya. (Rosidi-53)
Suara Merdeka
31 Oktober 2006

KUDUS BANJIR LAGI ...


Kudus kembali dilanda banjir. Beberapa desa yang terkena banjir antara lain Kalirejo Medini (Undaan), Mejobo dan Payaman.

Akibat banjir ini, ribuan warga terpaksa mengungsi. Kamis (27/12) sore hingga malam, misalnya, ribuan warga diungsikan ke lokasi penampungan yang aman. Terutama warga yang berasal dari Kaliorejo, Medini.

Di Undaan ini, ketinggian air berkisar 30 cm hingga satu meter. Sementara genangan banjir di area persawahan, terjadi hampir di semua desa di Undaan.

Saat melakukan evakuasi warga, aparat kepolisian dan perangkat desa sempat dibuat repot oleh warga yang menolak dievakuasi. Namun setelah dibujuk, akhirnya warga mau diungsikan.

Penyelamatan warga korban banjir tersebut, itu menggunakan truk dari Polres, PT. Djarum, dan PT. Nojorono. Warga dibawa ke GOR Wergu Wetan.

Pilih yang Mau Berjuang untuk Rakyat


Tak lama lagi, kota Kudus bakal menggelar Pemilihan Bupati Kudus. Banyak calon yang sudah mendaftar sebagai calon pemimpin di kota Kretek ini. Semua "berjanji" akan memperjuangkan hak rakyat.


Janji-janji dalam setiap pemilihan kepala daerah, bahkan pemilihan Presiden bukan ha yang baru lagi. Ini sudah menjadi budaya para calon pemimpin kita saat mencalonkan diri untuk memperoleh jabatan tertentu.
Untuk itu, setiap rakyat hendaknya waspada dan jangan tergiur dengan bujuk rayu. Pilihlah calon yang benar-benar mau memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Jangan memilih karena teman, apalagi karena uang.

Djarum, Ikon Bulutangkis Nasional



Kalau ada olah raga yang telah mengharumkan nama Indonesia hingga bias mendapatkan pengahrgaan dan menelorkan atlet-atlet dunia namun kurang diperhatikan oleh pemerintah, bulutangkis lah jawabannya.

Bagaimana tidak, meski telah mampu melahirkan “megabintang” atlet bulutangkis yang sangat banyak, subsidi untuk olahraga ini tidaklah sebesar olah raga sepakbola yang sadar atau tidak, membuat iri pengelola olah raga lain.
Sepakbola, sudah menjadi rahasia umum, mendapatkan subsidi yang sangat besar dari pemerintah. Padahal olah raga ini tidak pernah mampu meraih juara dalam ajang sepakbola Asia, apalagi dunia. Di Asean pun saat ini, dunia persepakbolaan Indonesia tidak cukup diperhitungkan.
Berbeda dengan Bulutangkis. Olah raga ini, meski tidak didukung dana yang memadai dari pemerintah, namun prestasinya sangat gemilang. Tidak hanya ditingkat Asean atau Asia, tetapi dunia.
Siapa yang tidak kenal nama-nama seperti Liem Swie King, Rudy Hartono, Ardy B. Wiranata, yang pernah menjadi Juara I All England Tunggal Putra, Alan Budikusuma (peraih medali Emas Olimpiade), Eddy Hartono / Gunawan (Juara Ganda Putra All England).
Nama-nama lain yang telah mampu menggemakan nama Indonesia di tingkat dunia lewat olahraga Bulutangkis adalah Haryanto Arbi, Susi Susanti, Taufiq Hidayat, pasangan Putra Antonius/Denny Kantono, Sigit Budiarto/Chandra Wijaya dan masih banyak lagi.

Peran Djarum
Peranan PT. Djarum, perusahaan rokok terbesar di kota Kudus, tidak bias diabaikan dalam rangka mengharumkan nama bangsa Indonesia lewat cabang olah raga bulutangkis ini. Dimana perhatian perusahaan ini terhadap perkembangan bulutangkis nasional sangat lah besar.
Besarnya perhatian PT. Djarum ini tidak hanya ditunjukkan dengan didirikannya pusat pelatihan olah raga bukutangkis, yang dimototri oleh Budi Hartono (CEO PT Djarum) pada tahun 1969. Dimana saat itu, brak (tempat karyawan melinting rokok) di jalan Bitingan Lama (kini Jl. Lukmonohadi) No. 35, pada sore hari digunakan sebagai tempat berlatih bulutangkis di bawah nama komunitas Kudus.
Dari situ, lahirlah nama Liem Swie King di pentas bulutangkis dunia. Ia pertama kali meraih Prestasi nasional saat meraih Juara Tunggal Putra Junior di Piala Munadi (1972).
Prestasi “Putera Djarum” ini pun berlanjut. Bahkan, ia tercatat meraih prestasi sebagai Juara All England hingga beberapa kali. Yaitu pada tahun 1978, 1979 dan 1981.
Ini semakin memantapkan keinginan Budi Hartono untuk serius mengembangkan kegiatan komunitas Kudus menjadi organisasi PB Djarum. Hingga akhirnya, dibukalah sarana bulutangkis terpadu di Kaliputu - Kudus.
Komitmen PT. Djarum Kudus membantu persatuan Indonesia dan mengharumkan nama bangsa dengan berprestasi di bidang perbulutangkisan dunia dan bertekad menjadi klub terbaik Indonesia yang penuh dengan pemain-pemain bulutangkis top dunia asal Indonesia, semakin terlihat dengan dibukanya Gedung Olah Raga (GOR) bulutangkis bertaraf internasional di jalan Jati – Kudus, di atas lahan seluas 43.207 m2.

Ikon Nasional
Melihat kiprahnya yang demikian besar dalam mengharumkan nama bangsa lewat olah raga bulutangkis, tidak berlebihan kiranya jika Djarum dijadikan sebagai ikon bulutangkis nasional.
Pertama, dilihat dari komitmennya mendidik dan mempersiapkan atlet-atlet bulutangkis masa depan. Yang dilengkapi dengan sarana pra sarana serta fasilitas yang lebih dari memadai, supaya para atlet bias berkonsentrasi penuh dan bias membawa nama besar Indonesia di tingkat internasional.
Kedua, dilihat dari prestasi yang dihasilkan. Banyaknya atlet hasil didikan PT. Djarum Kudus yang mampu menjadi juara dalam setiap perlombaan baik tingkat nasional bahkan internasional seperti Olimpiade, Uber Cup, Thomas Cup dan All England, cukup menjadi alas an buat pemerintah untuk menobatkan PT Drajum Kudus sebagai ikon bulutangkis nasional.
Penobatan PT Djarum sebagai ikon nasional, setidaknya sebagai ucapan terimakasih atas upaya dan perannya yang sangat besar terhadap perkembangan olah raga bulu tangkis yang telah melahirkan atlet-atlet kenamaan kelas dunia.
Lahirnya nama-nama besar pebulutangkis nasional dalam pentas dunia seperti Liem Swie King, Hariyanto Arbi, Eddy Hartono, Gunawan, Sigit Budiarto Ivana Lie, Yuni Kartika, Yuliani Santosa, Minarti Timur, dan Zelin Resiana, sudah lebih dari cukup jika pemerintah membutuhkan alas an untuk menganugerahkan atau menobatkan PT Djarum Kudus sebagai ikon bulutangkis nasional.
Sudah saatnya pemerintah belajar menghargai dan berterimakasih terhadap peranan dan hasil karya anak bangsa.

JURNAL KUDUS


JURNAL KUDUS, adalah blog yang dibuat khusus untuk memuat dan menampung informasi (berita), opini, keluh kesah dan apa saja yang berkaitan dengan kota Kudus. Kirimkan naskah atau tulisan Anda di jurnal_kudus@yahoo.com

Template Design | Elque 2007