Jumat, Januari 04, 2008

Menimbang Perkembangan Musik di Kudus

Perkembangan kota Kudus sangat signifikan, minimal dari segi informasi. Banyak pelaku/seniman musik di kudus yang mulai cepat menyerap informasi-informasi dari manca negara melalui internet dan media-media lain. Cara berpikir anak-anak musik sekarang juga jauh berbeda dari yang dulu.
Dulu, dalam satu komuitas musik rock, jika tidak mengenakan baju warna hitam maka tidak akan dihormati komunitasnya, bahkan dimusuhi. Sekarang lebih bebas. Intinya, dulu, di Kudus, satu aliran musik itu dilihat dari fashion-nya atau cara mereka berpakaiannya saja, bukan dari cara berpikir dan skill yang dimiliki.
Sekarang anak – anak musik lebih melihat dari sisi quantity musisi itu sendiri. hal tersebut merupakan suatu kemajuan yang signifikan. Karena untuk memainkan musik yang benar adalah dari hati, bukan dari komunitas atau cara berpakaian.
Pada era sekarang, banyak band-band baru bermunculan di kancah “mainstream” Indonesia. Menurut Saya, banyak yang tidak mementingkan kualitas dan kuantitas atas karya mereka. Ini sangat disayangkan. Karena nantinya mereka akan membodohi masyarakat dengan produk-produk yang tidak ada ‘bobotnya’ atau bermutu.
Tetapi memang harus diakui, bahwa dari sisi komersial, mereka sangat potensial. Jika sudah bicara masalah komersialisme, kita harus melihat persepsi produsernya. Kebanyakan produser musik raksasa Indonesia, cenderung melihat sisi komersialnya saja dan melupakan kualitas dan kuantitas produknya. Sementara product yang baik/balance untuk di konsumsi masyarakat, harus seimbang antara sisi komersial dan sisi kualitasnya.
Saya rasa, kalau kondisi di “rimba” musik Indonesia seperti ini terus, pasti suatu saat akan hancur. Karena musisi-musisi yang sebenarnya mempunyai kreatifitas tinggi dan mempunyai skill yang mumpuni akan patah arang karena tidak ada apresiasi dari pihak manapun termasuk konsumen.
Kembali melihat perkembangan musik di Kudus, sebenarnya banyak sekali potensi-potensi yang luar biasa dari kota ini. Banyak musisi-musisi yang potensial dan bisa maju ke panggung nasional. Sayang, tidak ada wadah bagi mereka untuk berkembang karena rata-rata “mentok” dengan masalah biaya dan lingkungan yang tidak mendukung.
Solusinya, Pemerintah Daerah (Pemda) mendukung kegiatan-kegiatan mereka, namun yang sifatnya lebih ke komunitas. Misalnya, dengan mendirikan satu tempat dimana para musisi bisa manggung setiap malam atau bisa ‘nongkrong’ untuk bertukar pikiran tetapi tetap berada dibawah satu atap dan harus independen. Musisi adalah seniman. Dan seniman, dimana pun tempatnya, itu tidak bisa dibatasi.
Dalam kacamata Saya, dunia hiburan di kota kudus ini masih sangat dibatasi. Contohnya, jika suatu acara lewat dari jam 12 malam, pasti langsung menjadi masalah. Padahal yang namanya hiburan, terlebih musik, yang paling tepat itu memang diadakan malam hari.
Hal – hal seperti itu juga menjadi salah satu faktor yang menghambat perkembangan musik dan musisi, tak terkecuali di kota Kudus. Menurut pengalaman Saya setelah melihat berbagai tempat hiburan di berbagai kota dan berbagai negara, itu jarang ada yang ‘bubar’ di bawah jam 1 malam tetapi antusias pengunjungnya juga tetap bagus. Hiburan musik atau live musik itu paling tepat diadakan malam hari. Di Kudus, acara – acara musik lebih sering diadakan di siang bolong sampai sore. Ujung – ujungnya, masalah keamanan menjadi pertimbangan.
Mengenai masalah keamanan ini, sebenanrnya kembali kepada individu masing – masing dan sistem pengamanan di suatu acara. Yang terpenting adalah, memberikan wadah bagi para musisi Kudus agar bisa berapresiasi lebih baik lagi sekaligus juga mendapat dukungan dari berbagai pihak dan berbagai kalangan.
Selain itu, dilihat dari setiap individu, musisi Kudus belum mendekati profesional. Mereka memang rata – rata mempunyai skill bagus dan semangat yang tinggi. Namun kebanyakan dari mereka melupakan satu hal yang sangat basic, yaitu penguasaan instrument secara detail.
Sebagai contoh, gitaris Kudus belum banyak yang tahu persis beda antara gitar yang terbuat kayu ‘maple’ dan kayu ‘mahogany’. Seorang bassist belum banyak yang tahu bagaimana men ‘set-up’ bridge supaya fit di tangan mereka. Hal seperti ini sangat disayangkan. Karena idealnya setiap musisi itu wajib mengetahui seluk beluk instrument.
Harapan Saya, musisi Kudus mempelajari dan memahami secara detail mengenai instrument yang mereka mainkan sebelum mempelajari teknik – teknik atau skill untuk menguasai instrument tersebut.
Jika beberapa hal di atas bisa terealisasi, maka bukan hal yang mustahil perkembangan musik di kota Kudus akan maju dengan pesat dan merambah ke tingkat nasional.
Sebagai gerakan awal, cukup kiranya dengan saling dukung satu sama lain. Dengan catatan, setiap pihak yang mendukung kemajuan musik di kudus ini hendaknya harus benar – benar memahami konsep dan esensi dari entertainment khusunya di dunia musik. Di sisi lain, kualitas musisi dan lingkungan juga harus mendukung, sehingga hasilnya hasil yang didapatkan bisa memuaskan dan syukur bisa menciptakan budaya baru di kota kudus ini.


Jevry Sevensteps,
Personel Sevensteps, belajar di Bisnis Manajemen di Australia

1 komentar:

Unknown mengatakan...

liat nih karya nak kudus ^_^
http://vorever22.blogspot.com/2013/05/goodbye-dibmy.html

Template Design | Elque 2007