Rabu, Januari 02, 2008

BERGANDENG TANGAN MEMBANGUN INDONESIA



¨ Renungan awal tahun 2008

Indonesia, sebuah negara kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah dan perekonomian yang pernah mendapatkan pujian dari Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1997 atas efisiensi dalam manajemennya.
Ironis. Tak lama setelah itu, negara kepulauan terbesar di dunia ini, menjadi negara yang amat miskin dengan total hutang luar negeri, yang mungkin tidak akan bisa dilunasi hingga 7 turunan.
Anjloknya perekonomian bangsa ini, disebabkan oleh nilai tukar rupiah dalam pasar uang global yang –waktu itu- turun hingga Rp. 10.000/ 1 $ US. International Monetery Fund (IMF), adalah lembaga yang tidak bisa dimungkiri ikut bertanggung jawab dalam krisis yang tidak hanya melanda Indonesia, tapi juga negara – negara berkembang lainnya, terutama di Asia.
Sampai kini, Indonesia belum bisa mengatasi problem yang memang sangat krusial dan mendesak untuk diselesaikan. 4 pergantian Presiden pasca turunnya Presiden Soeharto sejak 12 Mei 1998, yaitu BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri sampai kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), belum bisa membuat perubahan yang signifikan.
Sampai 4 kali pergantian kepemimpinan, perekonomian Indonesia belum menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Sebaliknya, pengangguran makin merajalela. Banyak buruh pabrik terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Bahkan, negeri agraris ini pun terkena busung lapar pula.
Para ekonom pun seakan sudah kehilangan kemampuannya mencari solusi untuk mengatasi krisis di negeri ini. Ratusan Profesor dan Doktor Ekonomi di negeri ini, juga seakan tidak lagi mempunyai teori yang bisa diterapkan untuk mengatasi krisis ini.
Hanya para pengamat ekonomi yang lebih banyak bicara tentang keterpurukan ekonomi bangsa dengan subyektifitas penilaian masing – masing, tanpa memberi solusi yang benar – benar bisa membawa Indonesia kepada perbaikan ekonomi.

Korupsi dan saling menyalahkan
Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia, ini diperparah dengan krisis mental para pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Korupsi menjadi hal biasa yang tidak tabu lagi.
Kita pun kenyang setiap hari disuguhi dengan berita – berita korupsi para pejabat negara dari tingkat daerah (kabupaten/kota) hingga tingkat pusat, dengan korupsi dari yang nilainya ratusan juta hingga Triliunan rupiah.
Korupsi ini, mengakibatkan bangsa Indonesia lebih terpuruk lagi ke dalam krisis berkepanjangan. Para koruptor itu seakan menutup mata, di tengah banyaknya rakyat yang kelaparan dan jutaan anak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan, mereka tega menggelapkan uang Negara (rakyat) untuk kepentingan pribadinya.
Persoalan lain adalah, buruknya sistem perpolitikan di negeri ini. Di mana para politikus seakan tidak bisa bersatu padu, bergandeng tangan untuk mengatasi krisis.
Para wakil rakyat (dewan), menteri dan pejabat lain di negeri ini, tidak lagi mencerminkan sebagai wakil yang seharusnya melayani rakyat. Tapi sebagai penguasa dengan partai – partai sebagai nahkodanya.
Mereka menjadi penguasa dan menjadi wakil partai, bukan rakyat. Ini dibuktikan, misalnya, sebuah partai akan lantas menjadi oposisi dan sulit diajak kerjasama membangun negara, karena salah satu diantara kader partainya, dicopot posisinya dari jabatan menteri atau jabatan tinggi lainnya.
Mereka -para politisi- itu lupa (atau sengaja lupa), bahwa sikapnya saling menjatuhkan itu telah mencoreng kepercayaan rakyat, bahwa kekuasaan yang mereka jabat, adalah amanat.
Selain itu, sikap saling menjatuhkan lawan politik dan tidak mau saling bekerjasama membangun negara ini agar perekonomiannya beranjak semakin baik, akan semakin menjadikan negara ini larut dalam keterpurukan dan krisis. Akibatnya, kemiskinan melanda, merajalela.

Mari bergandeng tangan
Tahun 2007 segera berlalu. Awal tahun 2008 segera datang. Marilah kita sudahi sikap saling menyalahkan terhadap pemerintah. Mari kita bergandeng tangan dan memikirkan bersama – sama masa depan bangsa yang telah dibangun dengan tetesan keringat, air mata, darah dan jutaan nyawa.
Kemerdekaan secara de facto dan de jure yang kita dapat dengan kedaulatan memerintah oleh putera bangsa sendiri dan bukan oleh para penjajah, seharusnya tidak sekadar memberikan rasa aman dari para musuh bangsa, tetapi tanggungjawab terhadap kesejahteraan (secara ekonomi) terhadap rakyat, juga menjadi hal yang tidak bisa diindahkan oleh penyelenggara pemerintahan selanjutnya.
Ringan sama dijinjing berat sama dipikul. Pepatah ini layaknya kita dengungkan kembali untuk bersama – sama bergandeng tangan membangun Indonesia.
Bukankah kita (bangsa Indonesia) pernah mengalami masa – masa sulit dalam merebut kemerdekaan dari kekuasaan para penjajah? Namun, pada akhirnya, kemerdekaan itu bisa didapatkan, karena rakyat bergandeng tangan dan bekerjasama melawan para penjajah itu.
Tidak dapatkan kita (bangsa Indonesia) mencoba saling bergandengan tangan lagi, untuk mewujudkan impian sebagai negara yang aman, adil makmur, sentosa. Negara yang gemar ripah loh jinawe, murah kang sarwo tinuku, lan subur kang sarwo tinandur?

¨ Rosidi

0 komentar:

Template Design | Elque 2007