KERJA 12 JAM, GAJI TAK SEPADAN
Sebut saja namanya Bunga. Gadis kelahiran 19 tahun silam ini, terpaksa keluar dari tempat kerjanya sebagai pekerja Bordir di sebuah perusahaan Bordir di wilayah kecamatan Jati, Kudus, yang kini sedang berkembang.
Bukannya ia tidak suka dengan pekerjaannya. Apalagi ia cuma lulusan SMP. Bukan pula karena ia memilih-milih pekerjaan. Tapi karena ia memang tidak kuat dengan sistem kerja yang ada.
Di tempat kerjanya sebagai buruh bordir yang sering kebanjiran order untuk bordir pakaian, tas dan lain sebagainya, ia hanya digaji Rp.13.000 ditambah uang makan Rp. 2.000 dengan jam kerja 12 jam sehari.
“Jika berangkat jam 6 pagi, pulangnya jam 6 sore. Jika berangkat jam 6 sore, pulangnya jam 6 pagi,” katanya.
Kondisi demikian lah yang membuat kondisi fisiknya tidak kuat. Apalagi jika kerja malam. “Saya sering sakit kalau habis kerja malam. Makanya mending keluar daripada kerja gajinya sedikit, kalau sakit untuk berobat saja nggak cukup.”
Kini, setelah keluar dari pekerjaannya sebagai buruh bordir, Hesti membantu kakaknya berjualan sayur-sayuran dan aksesoris di sebuah pasar.
Ya, demikian lah nasib para buruh di perusahaan bordir di Kudus, yang sebagian besar adalah perempuan. Mereka harus menerima kenyataan bekerja selama 12 jam. Gajinya pun, hanya berkisar 13.000 - 16.000 per hari. Padahal, bordir Kudus kini sangat terkenal dan diminati masyarakat, karena kehalusan dan kekhasan corak bordirnya.
Namun dibalik kekhasan dan kehalusan bordir Kudus yang sangat eksotik itu, para pekerjanya tidak mendapatkan upah yang semestinya. Tetapi apa boleh buat. Mencari kerja susah. Sehingga meski harus kerja 12 jam sehari dengan gaji Rp. 13.000 dan tanpa tunjangan kesehatan sekali pun, tetap dilakoni.
Citra (bukan nama sebenarnya), gadis perempuan asal Demak, ini tetap mau bekerja meski gaji tak seberapa. Padahal kalau dihitung-hitung, gajinya tentu tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Karena selain buat makan,. ia juga harus membayar kos yang tak jauh dari tempatnya bekerja.
Sementara Enik, salah seorang buruh bordir yang sudah 2 tahun lebih bekerja sebagai pekerja bordir, tetap bertahan karena ia membutuhkan uang untuk membantu orang tuanya membiayai adik-adiknya yang masih kecil-kecil.
Kerja 12 jam sehari. Gaji hanya Rp. 13.000. Tanpa tunjangan dan jaminan kesehatan. Namun, para perempuan itu tetap tekun bekerja setiap hari, meski kondisinya tak lebih baik sebagaimana orang yang kerja rodi.
Pertanyaannya, mestikah nasib yang dialami Hesti dan kawan-kawannya, akan tetap demikian tanpa perhatian dari pemerintah dan sarikat pekerja? Dan dibalik eksotisme bordir Kudus yang sangat menawan, haruskah duka para perempuan pekerja bordir yang memilukan, akan tetap bertahan?
Suara Merdeka
12 September 2007
0 komentar:
Posting Komentar