Senin, Desember 31, 2007

Kerja Sampingan agar Dapur tetap Ngepul


(Kisah Buruh Rokok di Kudus)

Azan shubuh baru saja usai. Namun Atun (34), warga Desa Jepang Mejobo Kudus, itu sudah beranjak bangun dari tidurnya. Ia segera ke kamar mandi, mengambil air wudlu lalu melaksanakan shalat Subuh.
Habis shubuh, jalanan di kota Kudus selalu ramai oleh para perempuan yang pergi bekerja di pabrik. Sepeda, motor dan angkutan, bergegas dan berpacu dengan gelap yang akan segera hilang.
Namun, Atun tidak segera mandi dan bersiap diri pergi ke pabrik. Karena ia harus menyiapkan sarapan bagi suami dan anaknya yang masih semata wayang terlebih dahulu.
Diambilnya beras. Ia pun mulai memasak. Lauk ala kadarnya disiapkan. Ia memasak dengan kompor minyak yang sangat sederhana. Sembari menunggu nasi matang, ia ke sumur mencuci pakaian.
Usai memasak dan mencuci pakaian, barulah ia mandi dan bersiap untuk pergi ke salah pabrik rokok. Dengan sepeda onthel miliknya, ia berpacu dengan waktu. Karena jam 06.00 Wib, ia harus sudah masuk kerja. Demikian, setiap hari ia harus melaksanakan rutinitas yang sangat melelahkan itu.
Bagaimana tidak melelahkan. Disamping disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga, ia bekerja sebagai buruh Giling di salah satu rokok yang cukup ternama di Kudus. Sepulang dari pabrik, ia pun tidak meluangkan waktunya buat istirahat sejenak.
Di rumah, sepulang kerja, ia membuat besek dan ekrak (kerajinan tangan dari bambu) untuk mencari tambahan rizki buat membantu suaminya, yang hanya berprofesi sebagai pembuat batu bata.
“Kerjo ning pabrik saiki ora iso dijagakno. Balike esuk. Paling jam 11.00 wis tekan omah. Yo, ketimbang ning omah nganggur. Tur yen ono opo – opo, mbuh loro utowo nglahirake, ono duite.” (Kerja di pabrik sekarang tidak bisa buat jaminan. Pulangnya pagi. Paling jam 11.00 sudah pulang. Ya, daripada nganggur. Lagian kalau di pabrik, kalau ada apa – apa seperti melahirkan, dapat tunjangan).
Begitulah penuturan Atun. Yang telah melakoni sebagai buruh di pabrik rokok sejak ia lulus dari Sekolah Dasar. Berat beban yang dipikulnya, seakan sudah tiada terasa. Karena di rumah, anaknya yang sebentar lagi ujian, membutuhkan uang. Sementara suami, kerja dengan penghasilan pas – pasan.
Beratnya menjadi buruh di pabrik rokok bagi perempuan di Kudus, tidak hanya dialami Atun. Tumini (45), warga Desa Gulang juga merasakan hal yang sama. “Pendapatan sekarang sedikit. Garapan cuma 2. dengan penghasilan Rp. 19.500 dibagi dengan bathil (yang bertugas merapikan rokok). Rp.8.500 untuk bathilnya. Selebihnya untuk Saya,” terangnya.
Meski berat, namun Tumini barangkali bisa lebih tenang karena kedua anaknya sudah lulus SMA. Berbeda dengan Atun yang masih memikirkan biaya pendidikan anaknya dan persiapan untuk anak keduanya yang akan lahir nantinya.
Hal yang tidak jauh berbeda dialami Rusmi (50). Warga Desa Getaspejaten yang sudah mempunyai seorang cucu ini sudah puluhan tahun jadi buruh pabrik rokok. Meski gaji tidak seberapa, namun ia tetap bertahan. Karena disamping umur, pendidikannya tidaklah tinggi.
Ya, bekerja sebagai buruh pabrik rokok bagi perempuan di kota Kudus, bukanlah pilihan. Tapi karena keadaan. Kebanyakan dari mereka pendidikannya rendah.
Namun begitu, meski gaji sedikit dan pekerjaan berat lain di rumah menanti sepulang kerja, mereka tetap bekerja dengan senyum dan ikhlas. Karena dapur mereka tetap harus mengepul. Anak – anak mereka memerlukan uang untuk biaya pendidikannya. Dan, tentu saja, untuk meringankan beban sang suami.(Rosidi)

Suara Merdeka
7 Juni 2007

0 komentar:

Template Design | Elque 2007