Senin, Desember 31, 2007

SAYA BUKAN PAKAR, TAPI "PEKIR"




Nama : H. M. Noor Aufa Shiddiq
TTl : Kudus 22 April 1957
Alamat : Langgar Dalem 21 Kudus
Pekerjaan : Guru Madrasah TBS Kudus
Istri : Noor Umamah
Ayah : Sjoehoed Siddiq
Ibu : Badriyati
Anak : Yazid Husain
Nila Sofiana
Pendidikan : SLTA

Organisasi :
1. Asosiasi Kaligrafi Internasional
2. Pengurus Cabang Nu Kabupaten Kudus
3. Dewan Hakim Tahsimul Khath Tk Nasional
4. Pembina Kaligrafi Prop. Jawa Tengah

Prestasi :
1. Juara Nasinal Th 1988 di Bandar Lampung
2. Juara Festival Istiqlal I tahun 1991 di Jakarta
3. Juara Festival Istiqlal II tahun 1995 di Jakarta
4. Juara Tingkat Asia tahun 1992, 1994, 1996 di Brunei Darussalam

Karya :
1. Ornamen-ornamen hiasan kaligrafi di Masjid Agung Kudus
2. Ornamen-ornamen hiasan kaligrafi di Masjid Agung Jawa Tengah
3. Ornamen-ornamen hiasan kaligrafi di Masjid Agung Baiturrahman
4. Buku Pedoman Tahsimul Khath
5. Mushaf Raksasa

Motto Hidup : “Dengan seni hidup ini semakin indah”
Hobby : Nulis Kitab.


SAYA BUKAN PAKAR, TAPI "PEKIR"

“Waduh saya belum mandi mas”, kelakar bapak dua anak sehabis mengajari beberapa siswa di kediamanya untuk belajar kaligrafi arab, ketika menyambut kedatangan kru Arwaniyyah. Sebagai seorang yang didedikasikan masyarakat sebagai pakar kaligrafi, tentunya bukanlah hal yang mudah untuk mencapainya. Terlebih lagi untuk menjaga dan mengembangkan penghargaan itu. Terbukti beliau yang kebetulan mendapat anugrah Allah lewat talenta menulis halus ini, mendirikan Lembaga Kaligrafi Kudus yang sampai saat ini masih bertahan dan semakin berkembang, dengan jumlah siswa lebih dari 120 orang, baik di tingkat anak-anak maupun remaja. Namun menanggapi masalah penganugrahan tersebut, Juara Kaligrafi tingkat Nasinal ini tidak mau membesar-besarkanya. Sehingga laki-laki yang lebih menjunjung tinggi nilai kesederhanaan ini lebih nyaman di sebut “Pekir”(mlarat) dari pada pakar, tegasnya.
Sebelum menekuni bidang kaligrafi arab, laki-laki yang diberi nama M. Noor Aufa Siddiq pernah menekuni jalur tilawah sampai pada tahun 1977. Setelah itu, beliau lebih menitik beratkan konsentrasinya pada dunia kaligrafi. Putra dari pasangan Sjoehoed Siddiq dan Badriyati dan pengasuh Lembaga Kaligrafi Kudus, mengaku belajar kaligrafi secara autodidak, dengan mencermati kaidah-kaidah yang ada serta mencoba mengevaluasi sendiri karya-karya orang lain sebagai referensi sebelum berkarya. Keseriusan dan ketekunanya dalam berlatih, membuahkan hasil yang gemilang. Pada masa-masa akhir 1980-an namanya mulai dikenal pada kancah nasional. Hingga pada akhirnya, keluwesannya dalam menggoreskan tulisan-tulisan arab, melambungkan namanya di event-event international.
Kesederhanaan dan ketelatenan, membuat pengarang Buku Pedoman Tahsimul Khot, tidak lupa dengan masyarakat awam. Meski nama dan prestasi yang melambung, ayah Yazid Husain ini, tetap mengabdikan diri untuk mendampingi para pemula yang ingin belajar seni kaligrafi di kota kelahirannya. Sebuah wadah untuk ngangsu kaweruh kaligrafi beliau dirikan di lingkungan rumahnya, sekitar tahun 1983 atas dorongan beberapa rekan seprofesinya.
Awalnya hanya prifat, namun mengingat semakin banyaknya perserta yang belajar, untuk efektifitas waktu, beliau membuka lembaga pendidikan Kaligrafi. Dari lembaga ini sudah banyak menelurkan ahli-ahli dalam bidang seni kaligrafi di tingkat daerah maupun nasional.
Disamping menggeluti dunia seni kaligrafi, salah satu penulis Mushaf Raksasa ini juga mempunyai pekerjaan yang tak jauh dari talentanya, yaitu mendapat kepercayaan untuk menulis kitab-kitab. Adapun pengalaman batin yang sangat menarik ketika menekuni profesi sebagai penulis kitab adalah, beliau mendapat kesempatan belajar pada kitab tersebut, sebelum orang lain mempelajarinya. Profesi ini sudah beliau geluti sejak lama, mulai sekitar 1970-an dengan menulis di percetakan-percetakan yang ada di sekitarnya hingga sampai ke daerah Surabaya.
Semakin tinggi sebuah pohon, maka semakin besar angin menrpa. Ujian pun datang pada saat Aufa (panggilan akrab Noor Aufa Shiddiq) mengendarai sepeda motor. Pada insiden tersebut, beliau berusaha menyelamatkan keutuhan tangan kanannya dan mengorbankan anggota tubuh lainnya. Hal ini dilakukan karena rasa cinta dan sayangnya atas anugrah Allah yang turun pada tangan kanannya. Bukan hanya itu, cobaan yang bersifat moral juga sering beliau alami, pada saat mengikuti lomba tak jarang terjadi kedzaliman-kedzaliman yang menimpanya. Namun hal ini tidak membuat beliau patah arang, karena beliau memegang prinsip menang bukan selamanya pemenang.
Secara arif juga, beliau memandang masalah materi (kekayaan yang berupa harta benda), tidak menjamin hidup jadi tentram. Kekayaan sejati adalah ilmu. Baginya, ilmu mampu membekali orang lain untuk menjadi kaya. “Dengan ilmu orang akan menjadi maju, dengan seni hidup menjadi indah. Dan keindahan hidup adalah cerminan dari ketentraman batin yang menjadi harapan setiap manusia,” tambahnya mengakhiri pembicaraan.[] M. Nur Salim

0 komentar:

Template Design | Elque 2007