Kamis, Januari 17, 2008

Proyeksi Penegakan HAM 2008

: Ketidakmauan Penegakan HAM Berlanjut


Koalisi Organisasi Non Pemerintah Hak-hak Asasi Manusia dan Korban
Pelanggaran HAM yang terdiri dari Arus Pelangi, Demos, FSPI, HRWG,
Imparsial, Kalyanamitra, LBH-APIK, Praxis, Jaringan Solidaritas Korban
Pelanggaran HAM (JSKK), INFID, Jaringan relawan Kemanusiaan (JRK), KontraS,
Setara Institute, PBHI, Prakarsa, SHMI, Wahid Institute, YLBHI, bermaksud
menyampaikan catatan bersama tentang evaluasi dan proyeksi HAM 2007 dan
2008. Catatan ini akan terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu kilas balik 2007,
proyeksi penegakan HAM 2008, serta rekomendasi.

1. Kilas Balik

Komitmen negara Republik Indonesia (RI) dalam mengimplementasikan hak-hak
manusia cenderung memburuk sepanjang tahun 2007. Kelemahan ini terletak pada
inkonsistensi antara apa yang dikesankan dengan apa yang sesungguhnya
direalisasikan. Realitas keadaan hak-hak manusia baik hak-hak sipil dan
politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya justru mematahkan upaya
pemerintah dalam menampilkan citra diplomasi yang baik atau terbuka di mata
internasional. Disamping itu kesan positif ini pada dasarnya gagal merespon
rangkaian pelanggaran atau pengingkaran hak-hak manusia baik di tingkat
internasional seperti Myanmar, Malaysia, Pakistan, buruh migran dan
perdagangan karbon (perubahan iklim) maupun di dalam negeri yang dalam
praktiknya tidak menghasilkan perubahan signifikan baik melalui tindakan dan
kebijakan (violation by commission) dan pembiaran (violation by omission).
Pencitraan politik luar negeri di bidang HAM, dengan berbagai kerjasama
meknisme HAM internasional, tidak sejalan dengan sikap pemerintah terhadap
realitas pelanggaran hak-hak manusia di berbagai negeri terutama dalam
bentuk pembatasan dan pengekangan kebebasan sampai pembunuhan kaum oposisi
politik.

Bahkan pencitraan diplomasi HAM itu tidak sejalan dengan realitas
pelanggaran HAM di berbagai pelosok Indonesia. Keterbukaan pemerintah untuk
memberikan akses terhadap dua pelapor khusus dan komisioner tinggi hak-hak
manusia PBB, justru tidak didukung sejumlah aparat dalam pelaksanaan misi
kunjungan mereka untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak-hak manusia.
Aparat penegak hukum tetap ambil bagian dalam kebiasaan atau melakukan
praktik penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat, terutama sering menggunakan kekerasan
dan senjata api dalam menangkap tersangka. Kewajiban POLRI sebagai pelindung
hak-hak setiap orang atas ancaman atau gangguan dari pihak ketiga maupun
sebagai pembasmi kejahatan tampaknya semakin mengkhawatirkan seiring dengan
terus terjadinya penutupan rumah-rumah ibadah dan penyerangan atas kelompok
minoritas agama. Pemerintah pun masih berwatak diskriminatif dan represif
atas kebebasan yang diperjuangkan kelompok minoritas agama. Situasi ini
menandai dibiarkannya praktik kekerasan dan intoleransi dari pihak ketiga
dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan dari negara. Kondisi
intoleransi dan diskriminasi juga masih terus dialami para korban Tragedi
1965-1966.

Banyaknya kegagalan aparat penegak hukum maupun mekanisme pengadilan untuk
menghukum para pelaku kejahatan, termasuk belum terungkapnya secara hukum
siapa para pelaku dan orang yang bertanggung jawab dalam kasus pembunuhan
Munir, semakin menguatkan dugaan proses ini sebagai bagian dari pelembagaan
kejahatan tanpa hukuman (impunity). Daftar kegagalan ini terus bertambah
bila dihubungkan dengan berbagai kejahatan yang berulang di daerah konflik
seperti Poso, bahkan kejahatan yang terburuk sekali pun tidak pernah
dihukum. Selain itu, banyak pula kasus atau perkara korupsi yang gagal
diproses secara jujur dan non-diskriminasi, menandai kuatnya dugaan
impunitas. Seluruh proses pelembagaan impunitas ini semakin memupuskan
harapan para korban kejahatan dan pelanggaran hak-hak manusia untuk meraih
keadilan.

Dalam pemilikan dan pengelolaan sumber daya alam di pedesaan dan industri di
perkotaan, terutama sengketa lahan, penggusuran kaum miskin kota, dan
pembatasa dkebebasan berserikat kaum buruh, ditandai dengan keterlibatan
aparat kepolisian, militer dan para-militer. Penggunaan kekerasan dan
paksaan merupakan ancaman yang serius bagi mereka yang berjuang
mempertahankan hak-haknya. Sebagai contoh, dua bentuk pelanggaran HAM yang
berat (gross violation of human rights) berupa pembunuhan di luar proses
hukum (extrajudicial killing) serta perlakuan keji dan penyiksaan yang
mengakibatkan kematian warga sipil petani di Alas Tlogo (Jatim) dan kematian
tersangka penikam polisi di Jeneponto (Sulsel). Dalam kasus lainnya negara
justru menggunakan pihak ketiga (paramiliter) sebagai pelaku untuk menggusur
atau menganiaya penggarap lahan. Salah satu peristiwa yang paling merugikan
pemilik lahan adalah dibukanya penambangan minyak Lapindo di kawasan yang
berdekatan dengan pemukiman penduduk yang menenggelamkan delapan desa. Kasus
Lapindo juga merupakan contoh bagaimana korporasi dengan dukungan negara
menolak pemulihan hak-hak korban.

Kebijakan ekonomi liberal pemerintah, meskipun meningkat secara statistik,
justru semakin memperburuk pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
masyarakat dan memperluas kelompok miskin. Berbagai laporan audit anggaran
yang menunjukkan terjadinya korupsi dan kebocoran anggaran telah menggerus
kemampuan pemerintah dalam merealisasi hak-hak ekosob seperti hak atas
pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. Lebih jauh, kebijakan ini juga kian
memperparah pemenuhan hak-hak perempuan dengan kian tingginya angka
eksploitasi buruh migran perempuan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan,
tingginya angka kematian ibu dan anak, bahkan menyebabkan terjadinya
peningkatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Kendati otonomi daerah membuka partisipasi politik yang lebih tersebar,
namun efek pengelolaan otonomi ini juga merupakan ancaman atas implementasi
hak-hak lainnya termasuk hak-hak perempuan. Seperti yang terjadi di tingkat
nasional maka partisipasi politik perempuan belum juga tercemin dalam
kebijakan di daerah. Otonomi daerah juga belum menyentuh perbaikan kondisi
anak-anak yang masih menjalani masa kecil mereka di jalan-jalan,
dipekerjakan, serta mengalami kekerasan maupun perlakuan buruk atas
anak-anak yang dipenjara

Di sisi lain menguatnya primordialisme dalam politik otonomi yang beriringan
dengan fundamentalisme menjadi ancaman atas keberagaman etnis, politik dan
agama. Misalnya, ancaman dan kekerasan terhadap kebebasan beragama atau
berkeyakinan terkait dengan diberlakukannya Perda yang diskriminatif,
termasuk diterapkannya bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan martabat manusia seperti hukuman cambuk di Aceh. Efek
pengelolaan otonomi daerah itu mengancam keberadaan kelompok-kelompok yang
mempunyai orientasi seksual berbeda. Mereka menghadapi kesulitan untuk
mengurus status kependudukan dan hak kewarganegaraan, memperoleh layanan
kesehatan, menjalankan ibadah di rumah-rumah ibadah, kebebasan berkumpul,
serta hak atas pekerjaan karena rawan penolakan dan pemecatan. Bahkan ada
yang mengalami kriminalisasi karena orientasi seksual dan juga atas posisi
mereka sebagai korban dan pelapor. Dalam sebuah operasi ketertiban versi
Pemkot di Jakarta, seorang waria terbunuh.

Lemahnya jaminan hukum atas penghormatan dan perlindungan hak-hak manusia
terlihat dengan masih belum sinkronnya standar dan norma hak-hak asasi
manusia internasional , terutama yang sudah diratifikasi, dengan
ketentuan-ketentuan hukum nasional. Ini juga mennujukkan negara gagal
menjalankan kewajibannya sebagai negara pihak. Hal ini tercermin dalam
keputusan Mahkamah Konstitusi yang tetap melegalkan hukuman mati, revisi
KUHP tetap mempertahankan delik agama dan penghinaan pejabat negara,
keberadaaan lembaga Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Pakem) sebagai
alat represi bagi kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta kebijakan dan
perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan HAM.

2. Proyeksi penegakan HAM 2008

Ke depan, khususnya di tahun 2008, prospek perlindungan, pemenuhan dan
pemajuan Hak-hak asasi manusia tak akan berbeda dengan perkembangan tahun
lalu. Pemerintah masih tetap akan inkonsisten dalam kebijakan HAM di luar
negeri dan dalam negeri. Faktor-faktor yang kian mempersulit penegakan HAM
adalah berlanjutnya kebijakan ekonomi liberal pemerintah, kebijakan pro
security yang mengancam kebebasan sipil seperti RUU Rahasia Negara, serta
persaingan politik di tingkat nasional dan lokal. Persaingan antar-elite
politik ini terutama menjelang pemilihan umum (pemilu) parlemen dan presiden
tahun 2009. Misalnya, dengan bertambahnya jumlah partai politik dan tokoh
calon independen untuk berkampanye memperebutkan kursi DPR, DPD dan DPRD
maupun mereka yang dicalonkan untuk memperebutkan kursi presiden. Sumber
daya politik diperkirakan bakal dimobilisasi secara besar-besaran sebagai
bagian dari pertarungan politik yang terbuka dengan melibatkan partisipasi
politik sebanyak mungkin warga negara. Di sisi lain, substansi UU Politik,
khususnya UU Parpol yang baru disahkan, memberi peluang bagi perselingkuhan
antara pemilik modal dengan politisi.

Tahun ini juga merupakan bagian dari sejarah peringatan 10 tahun reformasi
dan momen peringatan 60 tahun DUHAM. Karena itu tuntutan reformasi akan
meningkat, khususnya dalam pemenuhan atas hak-hak korban peristiwa
pelanggaran HAM berat masa lalu. Tuntutan pemenuhan HAM oleh negara akan
dipertanyakan Dewan HAM dalam mekanisme Pengkajian Berkala Universal (UPR)
serta Komite Anti Penyiksaan PBB. Di tahun ini, pelapor khusus PBB tentang
Penyiksaan dan Pembela HAM melaporkan temuan mereka tentang perlindungan
atas pembela HAM serta implementasi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT).

Berdasarkan perkembangan ini maupun proyeksi politik, implementasi atau
realisasi hak-hak manusia adalah hal yang tidak terpisahkan dari kewajiban
negara maupun partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan dengan hak-hak
manusia. Proyeksi politik ini sekaligus sebagai arena untuk menguji komitmen
negara dalam memajukan hak-hak manusia. Pantas dipertanyakan komitmen
partai-partai dan tokoh-tokoh politik maupun pemerintah terhadap pemajuan
dan perlindungan hak-hak manusia.

3. Rekomendasi

1. Mendesak Pemerintah SBY dan JK untuk konsisten dalam kebijakan HAM
luar negeri. Konsistensi diplomasi diperlukan agar Indonesia dapat merespon
krisis HAM di tingkat internasional sesuai Konstitusi RI dan standar HAM
universal (Burma, Darfur hingga Pakistan).
2. Mendesak Pemerintah, DPR dan Yudikatif untuk mengubah paradigma
dalam memajukan HAM, agar dapat konsisten melaksanakan produk-produk hukum
yang telah sesuai HAM dan konsisten dalam mengharmonisasi produk-produk
hukum yang belum sesuai HAM (RUU KUHAP & KUHP). Tanpa perubahan sikap, maka
keadaan HAM tak akan bisa mengatasi masalah impunitas pada kasus Munir dan
kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, diskriminasi, kriminalisasi
HAM, fundamentalisme serta kemiskinan.
3. Mendesak institusi-institusi negara untuk dapat segera menyelesaikan
berbagai sengketa agraria yang merugikan rakyat miskin dan menguntungkan
pemodal, sekaligus mengakhiri penggunaan Polri dan TNI secara keliru saat
menangani sengketa agraria dan penggusuran warga miskin penggarap lahan.
4. Mendesak pemerintah untuk mengubah kerangka kebijakan ekonomi
liberal ke arah kebijakan ekonomi dan sosial (pusat dan daerah) yang
berorientasi pada perbaikan realisasi hak-hak rakyat atas pekerjaan,
kesehatan, dan pendidikan, sekaligus perbaikan realisasi hak-hak perempuan
akibat eksploitasi buruh migran, minimnya akses pendidikan, tingginya angka
kekerasan dalam rumah tangga serta kematian ibu dan anak.
5. Mendesak institusi-institusi Negara untuk mengakhiri campur tangan
dalam menyikapi perbedaan keyakinan dalam menjalankan hak beragama termasuk
menghapuskan Badan Koordinasi PAKEM yang telah digunakan sebagai alat
kontrol politik untuk selanjutnya menyerahkan pada pengadilan. Sebaliknya,
Negara harus netral dan memperkuat campur tangan dalam menyikapi aksi
kekerasan oleh sekelompok orang atas nama agama.

Jakarta, 3 Januari 2008

Jaringan Demokrasi

(Arus Pelangi, Demos, FSPI, HRWG, Imparsial, Kalyanamitra, LBH-APIK, Praxis,
Jaringan Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (JSKK), INFID, Jaringan relawan
Kemanusiaan (JRK), KontraS, Setara Institute, PBHI, Prakarsa, SHMI, Wahid
Institute, YLBHI)


0 komentar:

Template Design | Elque 2007